24 Okt 2010 1 Komentar
KESABARAN adalah suatu kebajikan, tapi waktu adalah segalanya. Semakin mudah Anda menyadari perubahan mood, semakin mudah pula Anda mendapatkan apa yang diinginkan.
Para
wanita, apakah Anda sudah beberapa kali meminta liburan romantis,
sepatu baru, atau perawatan di spa, tapi tak jua ditanggapi pasangan?
Penyebabnya bisa jadi Anda memilih waktu yang tidak pas. Faktanya, pria
cenderung lebih mengabulkan permohonan wanita setelah pukul 18.00.
Dan
untuk para pria, jika Anda mencoba untuk memperdebatkan sesuatu dengan
wanita, jangan melakukannya pada pukul 15.00, karena itulah waktu
terbaik bagi wanita untuk memenangkan perdebatan. Fakta lain mengatakan,
waktu terbaik untuk meminta promosi jabatan adalah mulai pukul 13.00
daripada pagi hari. More
27 Sep 2010 Tinggalkan sebuah Komentar
Soal: Apa hukum mendatangi istri di duburnya (belakang) atau mendatanginya dalam keadaan haidh atau nifas?
Jawab: Tidak boleh menggauli istri di duburnya atau dalam keadaan haidh dan nifas. Bahkan yang demikian itu termasuk dari dosa-dosa besar berdasarkan firman Allah Ta’ala (artinya):
Jawab: Tidak boleh menggauli istri di duburnya atau dalam keadaan haidh dan nifas. Bahkan yang demikian itu termasuk dari dosa-dosa besar berdasarkan firman Allah Ta’ala (artinya):
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُواْ لأَنفُسِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّكُم مُّلاَقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah “Haidh itu adalah kotoran.”
Maka jauhilah diri kalian dari wanita ketika haidh. Dan janganlah
kalian mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka sudah suci,
maka datangilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai
orang-orang yang mensucikan diri. Isteri-isteri kalian adalah (seperti)
ladang (tempat bercocok tanam) bagi kalian. Maka datangilah ladang
kalian bagaimanasaja kalian kehendaki.” (Al Baqarah 222-223)
Allah
Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan pada ayat ini wajibnya menjauhkan diri
dari wanita ketika dalam keadaan haidh dan melarang untuk mendekati
mereka sampai mereka dalam keadaan suci. Yang demikian itu menunjukkan
atas pengharaman untuk menggauli mereka ketika dalam keadaan haidh dan
seperti itu juga nifas. Dan jika mereka sudah bersuci dengan cara mandi,
boleh bagi suami untuk mendatanginya di tempat yang diperintahkan
Allah, yaitu mendatanginya dari arah depan (qubul), tempat “bercocok
tanam” More
21 Agu 2010 Tinggalkan sebuah Komentar
Oleh
Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur’ah
Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah.
Judul di atas dibuat dalam konteks kalimat tanya sebagaimana yang anda lihat untuk menarik perhatian pembaca yang mulia agar mempelajari pembahasan yang dikandung judul tersebut. Karena tidak ada seorang pun yang menulis tentang bab ini kecuali menyebutkan judul sunnahnya adzan pada telinga anak yang baru lahir, padahal tidaklah demikian karena lemahnya hadits-hadits yang diriwayatkan dalam permasalahan ini. [*]
_____________________________
Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur’ah
Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah.
Judul di atas dibuat dalam konteks kalimat tanya sebagaimana yang anda lihat untuk menarik perhatian pembaca yang mulia agar mempelajari pembahasan yang dikandung judul tersebut. Karena tidak ada seorang pun yang menulis tentang bab ini kecuali menyebutkan judul sunnahnya adzan pada telinga anak yang baru lahir, padahal tidaklah demikian karena lemahnya hadits-hadits yang diriwayatkan dalam permasalahan ini. [*]
_____________________________
[*]
Kami telah meneliti sedapat mungkin riwayat-riwayat dan jalan-jalannya,
dan berikut ini kami terangkan dalam pembahasan ini, kami katakan :
Ada tiga hadits yang diriwayatkan dalam masalah adzan pada telinga bayi ini.
Pertama.
Dari Abi Rafi maula Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ia berkata : “Aku melihat Rasulullah mengumandangkan adzan di telinga Al-Hasan bin Ali dengan adzan shalat ketika Fathimah Radhiyallahu ‘anha melahirkannya”.
Dari Abi Rafi maula Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ia berkata : “Aku melihat Rasulullah mengumandangkan adzan di telinga Al-Hasan bin Ali dengan adzan shalat ketika Fathimah Radhiyallahu ‘anha melahirkannya”.
Dikeluarkan
oleh Abu Daud (5105), At-Tirmidzi (4/1514), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra
(9/300) dan Asy-Syu’ab (6/389-390), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir
(931-2578) dan Ad-Du’a karya beliau (2/944), Ahmad (6/9-391-392),
Abdurrazzaq (7986), Ath-Thayalisi (970), Al-Hakim (3/179), Al-Baghawi
dalam Syarhus Sunnah (11/273). Berkata Al-Hakim : “Shahih isnadnya dan
Al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya”. Ad-Dzahabi mengkritik
penilaian Al-Hakim dan berkata : “Aku katakan : Ashim Dla’if”. Berkata
At-Tirmidzi : “Hadits ini hasan shahih”.
Semuanya dari jalan Sufyan At-Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Rafi dari bapaknya. More
21 Agu 2010 Tinggalkan sebuah Komentar
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah perayaan ulang tahun anak termasuk tasyabbuh (tindakan menyerupai) dengan budaya orang barat yang kafir ataukah semacam cara menyenangkan dan menggembirakan hati anak dan keluarganya ?
Jawaban.
Perayaan ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai ibadah, atau hanya adat kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai ibadah, maka hal itu termasuk bid’ah dalam agama Allah. Padahal peringatan dari amalan bid’ah dan penegasan bahwa dia termasuk sesat telah datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah perayaan ulang tahun anak termasuk tasyabbuh (tindakan menyerupai) dengan budaya orang barat yang kafir ataukah semacam cara menyenangkan dan menggembirakan hati anak dan keluarganya ?
Jawaban.
Perayaan ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai ibadah, atau hanya adat kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai ibadah, maka hal itu termasuk bid’ah dalam agama Allah. Padahal peringatan dari amalan bid’ah dan penegasan bahwa dia termasuk sesat telah datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
“Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka”.
Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan.
Pertama.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya (‘Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai ‘Ied (hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya. More
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya (‘Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai ‘Ied (hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya. More
12 Agu 2010 1 Komentar
Seorang
perempuan apabila tidak suka kepada suaminya tidak sanggup bergaul
bersama, maka diperkenankan menebus dirinya dan membeli kemerdekaannya
dengan mengembalikan harta yang pernah diberikan oleh suami kepadanya
berupa maskawin, atau hadiah dengan sedikit berkurang atau lebih menurut
kesepakatan bersama. Akan tetapi yang lebih baik si laki-laki tidak
mengambil lebih dari apa yang pernah diberikan.
Firman Allah:
“Jika
kamu kawatir mereka berdua tidak dapat menegakkan batas-Batas ketentuan
Allah, maka tidak dosa atas keduanya tentang sesuatu yang ia menebus
dengannya.” (al-Baqarah: 229)
Isteri Tsabit bin Qais pernah datang kepada Nabi s.a.w. mengadukan:
“Ya
Rasulullah! Sesungguhnya Tsabit bin Qais tidak saya cela budi dan
agamanya, tetapi saya tidak tahan marahnya. Kemudian Nabi bertanya
tentang apa yang pernah dia ambil dari suaminya itu. Ia menjawab: Kebun.
Lantas Nabi bertanya lagi., Apakah kamu mau mengembalikan kebun itu
kepadanya? Ia menjawab: Ya. Maka bersabdalah Nabi kepada Tsabit:
Terimalah kebun itu dan cerailah dia.” (Riwayat Bukhari dan Nasa’i) More
12 Agu 2010 Tinggalkan sebuah Komentar
Pertanyaan :
Saya
mempunyai problem, tetapi memang akar permasalahannya cukup panjang
untuk diutarakan disini. Yang saya tanyakan. Bagaimana sikap yang harus
diambil terhadap menantu yang memusuhi mertuanya dan ia didukung oleh
ibunya agar jangan pernah datang ke rumah orang tua saya. Saya kasihan,
terutama kepada ibu saya, beliau menjadi tertekan atas sikap menantunya
tersebut. Jazakumullah.
Ikhwan, Banten
Ikhwan, Banten
Jawab :
Kami ikut prihatin dengan masalah yang sedang Anda hadapi. Memang tidak jarang terjadi adanya perselisihan antara ibu dengan menantunya (istri anaknya), yang kemudian mengarah kepada pertengkaran, dan ini amat disayangkan. Karena, bagaimanapun juga, ibu mertua adalah ibu suaminya. Sehingga, mau tidak mau harus dihormati dan tidak boleh dimusuhi.
Kami ikut prihatin dengan masalah yang sedang Anda hadapi. Memang tidak jarang terjadi adanya perselisihan antara ibu dengan menantunya (istri anaknya), yang kemudian mengarah kepada pertengkaran, dan ini amat disayangkan. Karena, bagaimanapun juga, ibu mertua adalah ibu suaminya. Sehingga, mau tidak mau harus dihormati dan tidak boleh dimusuhi.
Tidak
dipungkiri, yang menjadi pemicunya, terkadang masalah yang ringan,
tetapi kadang juga persoalan yang mendasar dan besar. Timbulnya bias
karena faktor istri, tetapi kadang juga karena faktor ibu mertua itu
sendiri, yang terkadang berlebihan dalam bersikap, sehingga membuat
risih menantunya. Bahkan tak jarang membuat menantunya merasa sangat
terganggu, sehingga tidak menyukai sikap ibu mertua, atau bahkan sampai
“membencinya”. Bisa juga timbul karena miss komunikasi antara keduanya.
Jadi perlu kejelasan duduk persoalan yang sedang Anda hadapi ini, agar
dapat dicarikan solusi, dahulu baru kemudian mensikapinya dengan penuh
bijak. Sebab, kata para ulama, hukum atas sesuatu itu adalah, cabang
dari gambaran permasalahannya. More
12 Agu 2010 Tinggalkan sebuah Komentar
Pertanyaan:
Sebagaimana diketahui, bahwa seorang Muslim tidak boleh malu
untuk menanyakan apa saja yang berkaitan dengan hukum
agama, baik yang bersifat umum maupun pribadi.
Sebagaimana diketahui, bahwa seorang Muslim tidak boleh malu
untuk menanyakan apa saja yang berkaitan dengan hukum
agama, baik yang bersifat umum maupun pribadi.
Oleh karena itu, izinkanlah kami mengajukan suatu pertanyaan
mengenai hubungan seksual antara suami-istri yang
berdasarkan agama, yaitu jika si istri menolak ajakan
suaminya dengan alasan yang dianggap tidak tepat atau tidak
berdasar. Apakah ada penetapan dan batas-batas tertentu
mengenai hal ini, serta apakah ada petunjuk-petunjuk yang
berdasarkan syariat Islam untuMk mengatur hubungan kedua
pasangan, terutama dalam masalah seksual tersebut?
mengenai hubungan seksual antara suami-istri yang
berdasarkan agama, yaitu jika si istri menolak ajakan
suaminya dengan alasan yang dianggap tidak tepat atau tidak
berdasar. Apakah ada penetapan dan batas-batas tertentu
mengenai hal ini, serta apakah ada petunjuk-petunjuk yang
berdasarkan syariat Islam untuMk mengatur hubungan kedua
pasangan, terutama dalam masalah seksual tersebut?
Jawab:
Benar, kita tidak boleh bersikap malu dalam memahami ilmu
agama, untuk menanyakan sesuatu hal. Aisyah r.a. telah
memuji wanita Anshar, bahwa mereka tidak dihalangi sifat
malu untuk menanyakan ilmu agama. Walaupun dalam
masalah-masalah yang berkaitan dengan haid, nifas, janabat,
dan lain-lainnya, di hadapan umum ketika di masjid, yang
biasanya dihadiri oleh orang banyak dan di saat para ulama
mengajarkan masalah-masalah wudhu, najasah (macam-macam
najis), mandi janabat, dan sebagainya.
agama, untuk menanyakan sesuatu hal. Aisyah r.a. telah
memuji wanita Anshar, bahwa mereka tidak dihalangi sifat
malu untuk menanyakan ilmu agama. Walaupun dalam
masalah-masalah yang berkaitan dengan haid, nifas, janabat,
dan lain-lainnya, di hadapan umum ketika di masjid, yang
biasanya dihadiri oleh orang banyak dan di saat para ulama
mengajarkan masalah-masalah wudhu, najasah (macam-macam
najis), mandi janabat, dan sebagainya.
Hal serupa juga terjadi di tempat-tempat pengajian Al-Qur’an
dan hadis yang ada hubungannya dengan masalah tersebut, yang
bagi para ulama tidak ada jalan lain, kecuali dengan cara
menerangkan secara jelas mengenai hukum-hukum Allah dan
Sunnah Nabi saw. dengan cara yang tidak mengurangi
kehormatan agama, kehebatan masjid dan kewibawaan para
ulama. More
dan hadis yang ada hubungannya dengan masalah tersebut, yang
bagi para ulama tidak ada jalan lain, kecuali dengan cara
menerangkan secara jelas mengenai hukum-hukum Allah dan
Sunnah Nabi saw. dengan cara yang tidak mengurangi
kehormatan agama, kehebatan masjid dan kewibawaan para
ulama. More
12 Agu 2010 Tinggalkan sebuah Komentar
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Suami saya –semoga Allah memaafkannya- walaupun berakhlak baik dan takut kepada Allah, ia sama sekali tidak punya perhatian terhadap saya di rumah. Ia selalu bermuka masam dan mudah sekali tersinggung, bahkan saya sering dituduh sebagai penyebabnya. Tapi Allah Maha Tahu bahwa saya, alhamdulillah, senantiasa selalu memenuhi haknya dan selalu berusaha membuatnya tenang dan tenteram serta menjauhkan darinya segala sesuatu yang dapat menyakitinya, serta saya tetap bersabar menghadapi semua sikapnya terhadap saya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Suami saya –semoga Allah memaafkannya- walaupun berakhlak baik dan takut kepada Allah, ia sama sekali tidak punya perhatian terhadap saya di rumah. Ia selalu bermuka masam dan mudah sekali tersinggung, bahkan saya sering dituduh sebagai penyebabnya. Tapi Allah Maha Tahu bahwa saya, alhamdulillah, senantiasa selalu memenuhi haknya dan selalu berusaha membuatnya tenang dan tenteram serta menjauhkan darinya segala sesuatu yang dapat menyakitinya, serta saya tetap bersabar menghadapi semua sikapnya terhadap saya.
Setiap
kali saya bertanya tentang sesuatu atau mengajaknya berbicara tentang
sesuatu, ia langsung marah dan menghardik, ia bilang bahwa itu perkataan
bodoh dan tidak berguna, padahal ia selalu bersikap ceria terhadap
teman-temannya. Sementara dalam pandangan saya sendiri, tidak ada yang
saya lihat pada dirinya selain mencela dan memperlakukan saya dengan
buruk. Sungguh hal ini sangat menyakiti dan menyiksa saya, sampai-sampai
saya pergi meninggalkan rumah beberapa kali.
Saya
sendiri , alhamdulillah, seorang wanita yang berpendidikan menengah
(SLA) dan saya bisa melaksanakan apa yang diwajibkan Allah atas saya.
Syaikh
yang terhormat, jika saya meninggalkan rumah dan mendidik anak-anak
sendirian serta bersabar menghadapi kesulitan hidup, apakah saya
berdosa? Atau haruskah saya tetap bersamanya dalam kondisi seperti itu
sambil tidak bicara dan bersikap masa bodoh terhadap urusan dan
problematikanya?
Tolong beritahu saya tentang apa yang harus saya lakukan. Semoga Allah memberikan kebaikan pada anda.
Jawaban
Tidak diragukan lagi, bahwa yang diwajibkan atas suami isteri adalah saling bergaul dengan cara yang patut, saling bertukar kasih sayang dan akhlak yang luhur disertai dengan sikap baik dan lapang dada. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jawaban
Tidak diragukan lagi, bahwa yang diwajibkan atas suami isteri adalah saling bergaul dengan cara yang patut, saling bertukar kasih sayang dan akhlak yang luhur disertai dengan sikap baik dan lapang dada. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan bergaullah dengan mereka secara patut” [An-Nisa : 19] More
12 Agu 2010 Tinggalkan sebuah Komentar
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum laknat suami terhadap isterinya dengan sengaja ? Apakah isterinya menjadi haram baginya karena laknat tersebut ? Atau bahkan termasuk katagori talak ? Lalu apa kaffarahnya (terbusannya)?
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum laknat suami terhadap isterinya dengan sengaja ? Apakah isterinya menjadi haram baginya karena laknat tersebut ? Atau bahkan termasuk katagori talak ? Lalu apa kaffarahnya (terbusannya)?
Jawaban
Laknat seorang suami terhadap isterinya adalah perbuatan mungkar, tidak boleh dilakukan, bahkan termasuk dosa besar, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Laknat seorang suami terhadap isterinya adalah perbuatan mungkar, tidak boleh dilakukan, bahkan termasuk dosa besar, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Melaknat seorang mukmin adalah seperti membunuhnya”. [1]
Dalam hadits lain disebutkan.
“Artinya : Mencela seorang muslim adalah suatu kefasikan dan membunuhnya adalah suatu kekufuran”.[2]
Dalam hadits lainnya lagi disebutkan.
“Artinya
: Orang-orang yang suka melaknat itu tidak akan menjadi pemberi
syafa’at dan tidak pula menjadi saksi pada hari kiamat”. [3] More
12 Agu 2010 Tinggalkan sebuah Komentar
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum syari’at menurut anda tentang suami yang memukul isterinya dan mengambil hartanya dengan paksa serta memperlakukannya dengan perlakuan buruk?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum syari’at menurut anda tentang suami yang memukul isterinya dan mengambil hartanya dengan paksa serta memperlakukannya dengan perlakuan buruk?
Jawaban
Suami yang memukul isterinya, mengambil hartanya dengan paksa dan memperlakukannya dengan perlakuan yang buruk adalah orang yang berdosa dan maksiat terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdasarkan firman-Nya.
Suami yang memukul isterinya, mengambil hartanya dengan paksa dan memperlakukannya dengan perlakuan yang buruk adalah orang yang berdosa dan maksiat terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdasarkan firman-Nya.
“Artinya : Dan bergaullah dengan mereka secara patut” [An-Nisa : 19]
Dan firman-Nya.
“Artinya : Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” [Al-Baqarah : 228]
Seorang
laki-laki tidak boleh memperlakukan isterinya dengan perilaku buruk
seperti itu, sementara disisi lain ia menuntutnya untuk memperlakukan
dirinya dengan baik. Sikap ini termasuk perbuatan zhalim yang tercakup
dalam firman Allah Ta’ala.
“Artinya
: Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang
yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi dan
apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka
mengurangi” More
1 komentar:
sip bos...
Posting Komentar